Semarang, 20 November 2025 — Acara diskusi publik bertajuk “Nongkrong Tobat dan Temu Tokoh MPR RI” menghadirkan suasana dialog yang hangat dan konstruktif. Sejumlah tokoh muda seperti Mas Ihfan, Mas Ikhwan, dan Fakhruddin Aziz, turut hadir berdampingan dengan Wakil MPR RI dalam membedah tema sentral: “Idealisme Overdosis”.
Acara ini menjadi ruang penting bagi generasi muda untuk mendiskusikan hubungan antara idealisme, realitas sosial, serta proses pendewasaan pemikiran dalam menghadapi kompleksitas zaman.
Dalam sesi pembuka, diskusi menyoroti konsep dasar ide yang berasal dari bahasa Yunani idea, berarti “gagasan, bentuk, atau konsep dalam pikiran.”
Dari kata tersebut berkembang istilah ideal, yakni standar nilai atau bentuk kesempurnaan yang menjadi rujukan seseorang atau kelompok.

Sementara itu, idealis merujuk pada individu yang menjadikan nilai-nilai ideal sebagai kompas dalam berpikir dan bertindak. Pandangan ini sering kali dipasangkan dengan istilah realistis, yang berarti pandangan yang bertumpu pada kondisi faktual, keterukuran, dan pertimbangan praktis.
Dalam konteks sosial, idealisme dan realisme bukan dua kutub yang harus saling menegasikan. Keduanya justru dipahami sebagai dua dimensi yang perlu diseimbangkan agar gagasan tidak berhenti pada angan-angan, dan tindakan tidak kehilangan arah nilai.
Ketika Idealisme Menjadi “Overdosis”
Para narasumber sepakat bahwa idealisme memiliki peran penting sebagai penggerak perubahan. Namun, idealisme dapat menjadi “overdosis” ketika:
- nilai-nilai ideal dipertahankan tanpa ruang dialog,
- gagasan tinggi tidak dibarengi pemahaman konteks,
- atau ketika seseorang memaksakan standar kesempurnaan hingga menutup ruang kolaborasi.
Pesan Wakil MPR RI: Menjaga Nilai, Merawat Nalar. Dalam penyampaiannya, Wakil MPR RI menegaskan bahwa idealisme tidak boleh dilepaskan dari nilai kebangsaan dan konstitusi. Beliau menekankan pentingnya kemampuan berpikir kritis dan kemauan untuk terus belajar sebagai modal membangun masa depan bangsa.
Menurutnya, generasi muda harus mampu menjaga idealisme sebagai energi perubahan, namun tetap berpijak pada realitas sosial agar gagasan dapat diwujudkan secara berkelanjutan.
Acara ini juga menjadi refleksi bahwa perjalanan memahami idealisme dan realitas adalah proses panjang. Para peserta diajak melihat bahwa perkembangan diri bukanlah garis lurus, melainkan rangkaian percobaan, dialog, koreksi, dan penyesuaian berkelanjutan.
Dalam dialog tersebut dipertegas bahwa:
- menjadi idealis bukan berarti menolak realitas,
- menjadi realistis bukan berarti kehilangan impian,
- dan berkembang berarti mampu bergerak di antara keduanya dengan kedewasaan.
Ruang dialog seperti ini diharapkan menjadi wadah berkelanjutan bagi generasi muda untuk mengasah kemampuan berpikir jernih, menata nilai, dan membentuk sikap yang matang dalam menghadapi dinamika kehidupan.

